Wali Quthub Yang Sangat Terpelajar
Imam Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih lahir di kota Tarim.
Hadhramaut pada 1098 H (1678 M). Ia tumbuh dari berkembang dalam ruang lingkup
keluarga Ba’alawih yang mengedepankan ajaran ilmu dan pelatihan adab dan akhlaq
semenjak dini.
Seperti anak-anak keluarga Ba’alawi pada umumnya, Al-imam
Abdurahman telah menghafal kitab suci Al-Qur’ansemenjak dini. Pada usia yang
sangat muda, ia tidak hanya telah mengafal kitab suci, tetapi mampu mebacanya
dengan sepuluh motede gaya bacaan (qira’at) di bawah dibimbingan dua orang
guru, Syekh Abdurhman bin Abu Al-Ghayt Al-Madani dan Syaikh Ibrahim bin
Muhammad Al-Misri.
Pada usia remaja, imam Abdurrahman juga telah mampu menghafal dan
menguasai beberapa kitab penting, di antaranya kitab Al-Irsyad, karya
Obni AL-Muqri, dalam ilmu fiqih, Alfiyyah, karya Imam Ibnu Malik, dalam
gramatika bahasa Arab, Shart Al-fiyyah, karya Imam As-Suyuti, dalam
semantik, Al-Shatibiyah, dalam ilmu membaca Al-Qur’an.
Dalam satu sya’ir nya, Imam Abdurahman menulis :
Masa muda adalah semangat untuk mencapai derajat
tinggi
Yang dapat mendakai kesegala puncak, dan tak pulang
tanpa hasil
Tidak akan didahului, kecuali oleh mereka yang
berangkat yang dini
Dengan segala kesungguhan demi mencari kemulian
Pada awal pengembaraan intelektualnya, Imam Abdurahman dididik
langsung oleh ayah nya, Habib Abdullah bin Ahmad Bilfaqih Ba’alawih. Dengan
sang ayah, Imam Abdurahman mempelajari dasar-dasar ilmu fiqih, hadist, bahasa
dan tasawuf, hingga ayahnya wafat ketika ia berusia 21 tahun. Sebelum
kematiannya, sang ayah telah mempercayai Imam Abdurahman sebagai penggantinya
dalam mengajar dan memberi fatwa.
Imam Abdurahman juga menimba ilmu dibawah pengawasan kakek dari
pihak ibunya, Habib Muhammad bin Abdurahman bin Ahmad Al-aydarus. Dari sang
kakek, ia mendapat berbagai riwayat, ilmu, dan ijazah-ijazah. Sang kakek juga
menginisiasikan dirinya kedalam thariqah Alawiyah.
Selain dengan sang ayah dan kakek, ia juga belajar dengan pamannya,
Habib Abdurahman bin Muhammad Al-Aydarus, dan membaca dan membaca berbagai
kitab penting dalam beberapa bidang ilmu.
Imam Abdurahman juga menyempatkan waktunya untuk menelaah berbagai
buku di bawah pengawasan kakak nya, Jamuluddin Muhammad bin Abdullah Bilfaqih.
Jelas betapa keluarga dekatnya telah mempersiapkan pendidikan Imam
Abdurahman dengan sebaik-baiknya, dan mendukung perjalanannya dalam mengarungi
samudera ilmu pengetahuan.
Membangun 17 Masjid
Di kota Tarim,
Imam Abdurahman juga sempat belajar kepada Imam Ahmad bin Umar Al-Hinduan,
pemuka ulama di kota tersebut dan salah satu pembesar keluarga Ba’alawi pada
zamannya.
Adapun guru
utamanya dalam ilmu tasawuf dan pembimbingnya dalam meniti jenjang
spiritual dalam thariqah Alawiyah tidak
lain adalah Imam Abdullah bin Alwi Al-Hadad. Dari Imam Al-hadad ia mempelajari
berbagai kitab pelik dalam ilmu fiqih dan tasawuf. Darinya pula, Imam
Abdurahman memperoleh bimbingan khusus dan berbagai lafal dzikir serta ilmu
–ilmu periwayatan lainnya.
Adapun
guru-gurunya yang lain dari kalangan keluarga Ba’alawih adalah Habib Ali bin
Husain Al-aydarus, Habib Ssyaikh bin Husain bin Syaikh Abu Bakar bin Salim, dan
lain-lain.
Tidak pernah
merasa cukup dalam menuntut ilmu adalah salah satu karakter dasar para penggali
pengetahuan. Demikian juga Imam Abdurahman dari. Dari Hadhramaut, ia
melanjutkan pencarian ilmu dikota Suci Makkah dan Madinah. Di antara gurunya di
tanah suci adalah Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Nakhli dan Syekh Abdullah bin
Ssalim Al-Basri.
Di Tanah Suci, ia
juga menyempatkan diri untuk belajar dari seorang ulama dan pemimpin para
sayyidi di kawasan Syam, Sayyid Ibrahim
bin Muhammad bin Hamzah Al-Husaini Al-Damashqi. Dari Al-Dimasqhi inilah Imam
Abdurahman mendapatkan berbagai sanad periwayatan yaang menghubungkan nya
dengan seorang ulama tersohor Syam, Syaikh Abu Al-Muwahib Muhammad bin Abdul
Baqi Al-Hanbali.
Dalam perjalananya
menuju Tanah Suci, Imam Abdurahman singgah di Yaman guna meraup manfaat dari
para ulama yang tinggal di kota-kota ilmu pengetahan seperti, Zabid, Al-Lahyah,
Bayt Al-faqih. Di antara gurunya di Yaman adalah Sayyid Yahya bin Umar , Maqbul
Al-Ahdal, Sayyid Abu Bakar bin Ali Al-Battah Al-Ahdal, Syaikh Az-Zayn bin
Muhammad Al-Baqi Al-Mizjaji, Syaikh Ala Ad-Din, Syaikh Ibrahaim An-Nashiri.
Imam Abdurahman
juga kerap berkorespondensi dengan para ulama mumpuni yang hidup pada zamannya.
Dalam suratnya ia meminta ijazah dan sanad kepada para ulama sepuh yang belum
pernah ia temui.
Ketika menjelaskan
ihwal jumlah guru-gurunya, Imam Abdurahman menulis, “Aku telah mendapatkan dari
mereka seluruh ilmu fiqih Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Juga ilmu-ilmu
ushul, baik ushuluddin, ushul fiqh, tafsir, maupun ilmu hadist, dengan segala ragamnya
yang berjumlah lebih dari tujuh puluh jenis. Selain itu, aku juga mendapat
berbagai ilmu lain yang merupakan sarana-sarana tasawuf.”
Melalui
kegigihannya dalam menuntut ilmu dan mengumpulkan sanad periwayatan, Imam
Abdurahman mampu menyambungkan geneologi keilmuannya dengan para pakar ilmu
yang termasyhur dalam tradisi Ahlusunnah, khususnya dalam periwayatan hadist
dan ilmu fiqih. Di antara nya Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Haytami, Al-Hafizh Muhammad bin Abdurahman As-Sakhwi, Al-Hafizh Abdurahman
bin Ali Al-Dayba’i, Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Qusyasyi, Imam Muhammad bin
Ahmad Ar-Ramli.
Dalam bukunya,
Raf’al Atsar, Imam Abdurahman menulis, “Al-hamdulillah sebagaimana telah ku
peroleh ilmu-ilmu lahiriah tersebut, aku juga memperoleh ilmu-ilmu yang
terperinci. Aku juga memperoleh ilmu-ilmu hakikat dan Allah telah berkenan
menjadikan diriku ahli dalam hal itu, dan menjadikan cenderung pada upaya
penghafalan ilmu-ilmu naqli dan aqli, serta ilmu bahasa arab dan etika. Oleh
karenan itu, sikapku dalam memperoleh ilmu adalah melalui upaya perenungan
tentang makna dan telaah atas pernyataan yang berkaitan pada hakikat. Aku
bersikap sebagaimana layaknya sikap ahli tarekat agar mampu mencapai setiap
tahap dalam tarekat.”
Tak mengherankan
jika gurunya, Imam Abdurahman bin Alwi Al-Hadad, pernah berucap, “Tidak ada di
semesta ini yang seperti Abdurahman.”
Karena itu pula, sampai saat ini Imam Abdurahman di gelari “Allamah
Ad-Dunya.”
Selain mengkaji ilmu-ilmu syari’at, ia juga memiliki kebiasaan
mengumpulkan sanad tarekat para mursyid pada zamannya.
Kendati memegang teguh ajaran praktek Thariqah Alawiyyah, ia juga
menghubungkan dirinya dengan lebih dari dua puluh silsilah tareakt. Diantara
nya, Thariqah Al-Mudiyyah, Thariqah Asy-Syadziliyah, Thariqah Qadiriyyah, Thariqah
Al-Sushayriyyah, Tharaqah Naqsabandiyyah.
Menjadi
seorang ahli tasawuf dan pengiat tarekat, bukan berarti Imam Abdurahman
terlepas dari kehidupan dunia. Seperti para leluhurnya dari keluarga Ba’alawi,
ia juga mampu memadukan keilmuan dan ke shalihan dengan kesuksesan duniawi. Ia
di gambarkan sebagai seorang tuan tanah yang memiliki tanah yang luas dan
ditanami dengan pohon kurma. Lokasi tanahnya masih terjaga hingga hari ini dan
di warisi oleh keturunannya. Salah satu lokasi perkebunannya terletak di
sebelah barat lembah Hadhramaut, di temapt yang dikenal dengan nama
“Al-Batinah”. Lokasi tsb ia jadikan tempat beristirahat dan menerima tamu,
serta tempat peristirahatan para musafir.
Kekayaan nya digunakan untuk membantu kehidupan spiritual dan
intelektual Hadhramaut. Dengan kekayaan nya, Imam Abdurahman membangun 17
Masjid di pelbagai dusun dan sebagian masih berdiri hingga hari ini. Sebuah
kebun kurma yang luas dan subur di pinggir kota Tarim juga diwakafkan kepada
sejumlah masjid ia bangun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar